Admin 2025-11-30 20:00:07
INDONESIAPERSADA.ID AWARD
Oleh: Ganjar Pranowo
(Catatan ini disiapkan Ganjar Pranowo sebagai Ketua Umum
Persatuan Radio TV Publik Daerah Seluruh Indonesia INDONESIAPERSADA.ID -
untuk disampaikan dalam Malam Anugerah 5TH INDONESIAPERSADA.ID AWARD 2025, di
Purworejo Jawa Tengah 26/11/2025)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam
sejahtera. Om swastiastu. Namo Buddhaya. Salam Kebajikan.
Yang saya hormati para kepala daerah se-Indonesia, para
pimpinan LPPL, para insan media, dan seluruh tamu undangan yang saya cintai.
Hari ini kita berdiri di hadapan kenyataan penting: LPPL
adalah suara lokal yang terus berjuang meski sering tidak dilihat, tidak
diprioritaskan, bahkan tidak dianggap penting. Radio dan TV lokal kita berjalan
dengan kondisi - maaf saya katakan - serba kekurangan. Sementara dunia penyiaran
komersial dan digital melaju seperti kereta cepat, LPPL kita kadang masih
seperti berjalan kaki di pinggir rel.
Tetapi, sebelum kita bicara tentang masa depan, mari kita
lihat dunia luar.
Ada radio komunitas Jepang yang bertahan puluhan tahun
karena menjadi pusat informasi bencana - bahkan setelah gempa Tohoku 2011, lebih
dari 30 radio komunitas kecil menjadi penyelamat informasi warga.
Ada BBC Local Radio di Inggris yang meski menghadapi tekanan
digital, tetap didukung penuh negara karena dianggap penjaga integrasi
komunitas.
Sebaliknya, ada contoh yang menyedihkan. Australia menutup
17 stasiun ABC lokal dalam satu dekade terakhir karena minim dukungan anggaran.
Akibatnya, survei 2023 menunjukkan area yang kehilangan stasiun lokal mengalami
penurunan partisipasi warga dalam urusan publik hingga 23%.
Di Indonesia sendiri, kita melihat banyak radio daerah yang
dulu berjaya kini mati pelan-pelan. Radio yang pernah menjadi legenda
daerah - yang menghidupkan musik lokal, drama radio, berita kampung - sekarang
tinggal kenangan.
Data dari KPI dan PRSSNI menunjukkan: Lebih dari 260 radio
lokal berhenti siaran atau berganti fungsi sejak 2018. Dari 11.000 lebih desa,
hanya sebagian kecil yang masih memiliki akses konten lokal langsung dari radio
atau TV publik.
Ini bukan sekadar hilangnya frekuensi. Ini hilangnya
identitas daerah. Hilangnya cerita warga. Hilangnya ruang dialog publik yang
bebas dari kepentingan pasar.
Lalu apa yang harus dilakukan LPPL agar tetap diikuti
masyarakat?
Pertama, jadilah relevan dan dekat. Konten yang dicari
masyarakat adalah konten yang menyentuh hidup mereka: banjir hari ini, harga
gabah, UMKM baru, peluang kerja, hingga kisah budaya lokal. Jangan menjadi
radio yang memutar lagu-lagu generik tanpa makna lokal.
Kedua, LPPL harus masuk ke dunia digital, bukan sekadar
numpang lewat. Video pendek. Live streaming kegiatan warga. Podcast tokoh desa.
Konser mini di studio. Jurnalisme warga lewat WhatsApp dan media sosial.
Manfaatkan fakta bahwa hari ini, anak muda menghabiskan rata-rata 3-4 jam di
platform video. Jika LPPL tidak hadir di sana, ia hilang dari peta perhatian
publik.
Ketiga, bangun kembali kepercayaan publik. LPPL harus
menjadi media yang jujur, berimbang, dan tidak melulu bicara seremonial
pemerintah daerah. Masyarakat ingin media yang menyuarakan kebutuhan mereka,
bukan hanya membacakan sambutan pejabat.
Bagaimana peran Pemda: mendukung atau mematikan?
Saya ingin sangat tegas: LPPL tidak boleh dimatikan. Yang
harus dimatikan adalah cara mengelolanya yang kuno. Pemda harus hadir dalam
tiga hal:
Pertama, Perlindungan Kebijakan. Banyak LPPL tidak punya
kepastian kelembagaan. Kadang ditempatkan sebagai "unit buanganÃÂ" dalam struktur
dinas. Padahal di Inggris, Jepang, bahkan Korea Selatan, media lokal dipagari
oleh aturan yang menjamin otonomi editorial dan keberlanjutan.
Kedua, Dukungan Anggaran dan Teknologi. LPPL tidak akan
pernah menang kalau peralatannya kalah 20 tahun dari media komersial. Minimal,
Pemda harus menyiapkan proyek transformasi digital: studio mini modern, peralatan produksi mobile, server streaming, platform
digital resmi. Di negara-negara maju, investasi digital media lokal dianggap
setara pentingnya dengan investasi sekolah dan puskesmas - karena media publik
menjaga literasi warga.
Transformasi SDM
Tidak bisa lagi pola pikir lama: menunggu jam siaran. SDM
LPPL harus menguasai: editing cepat, jurnalisme digital, visual storytelling,
manajemen platform, hingga kolaborasi komunitas. Di Jepang, setiap penyiar
komunitas diberi pelatihan tahunan wajib. Di kita? Banyak LPPL bahkan tak punya
anggaran training.
Penyesuaian yang harus dilakukan LPPL untuk bertahan di era
digital
Pertama, Reformasi kelembagaan. LPPL bukan kantor birokrasi,
tetapi rumah kreativitas publik. Kedua, Pola kerja baru. Dari jadwal siaran
harian menjadi produksi konten sepanjang waktu. Ketiga, Modernisasi teknologi.
Dari mixer analog menjadi produksi digital penuh. Keempat, Dukungan regulasi
internal. Standar editorial, SOP konten digital, hak cipta, fact-checking.
Kelima, Ekosistem kemitraan. Kolaborasi dengan universitas, komunitas kreatif,
UMKM, hingga influencer lokal.
Jika LPPL hanya mengandalkan APBD, dia akan terus hidup
segan mati tak mau. Tapi jika dia membuka diri pada kolaborasi, dia akan lahir
kembali sebagai pusat kreativitas daerah.
Penutup
Hadirin yang saya banggakan.
LPPL adalah penjaga jati diri daerah. Jika suara lokal
padam, maka yang hilang bukan sekadar radio atau televisi, tetapi akar budaya
kita. Kita punya pilihan: Membiarkan LPPL berjalan terseok-seokâââ¬Ã¦ atau
membangunnya kembali menjadi kebanggaan daerah.
Hari ini, saya ingin mengajak semua Kepala Daerah: Mari kita
nyalakan kembali obor penyiaran publik lokal. Beri mereka dukungan,
modernisasi, dan ruang untuk tumbuh. Karena ketika LPPL maju, suara rakyatlah
yang maju.
Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.